Dari Kebijakan Diskriminatif Menuju Kebijakan Berkeadilan
Imam Machali, S.Pd.I, M.Pd[1]
Abstract
Sejarah kebijakan
pendidikan Islam dapat dilihat dari masa pra kemerdekaan, orde lama, orde baru
dan reformasi. Sejak masa pra kemerdekaan hingga awal reformasi kebijakan
pendidikan Islam dinilai diskriminatif dan tidak berkeadila. Baru kemudian pada
masa reformasi dengan disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 kebijakan
pendidikan Islam menemukan babak baru, sebab secara eksplisit UU tersebut
menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan Islam (agama) sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan nasional. Momentum ini dinilai sebagai titik
awal kebangkitan perkembangan pendidikan Islam yang berkeadilan.
Tulisan ini berusaha
mendeskripsikan sejarah keijakan pendidikan Islam dari masa ke masa yaitu dari
masa pra kemerdekaan hingga masa reformasi dengan produk UUSPN nomor 20 tahun
2003.
Kata
kunci: pendidikan Islam dan kebijakan pendidikan
A. PENDAHULUAN
Perkembangan Pendidikan Islam di
Indonesia tidak dapat lepas dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia dari
masa penjajahan hingga masa sekarang (reformasi). Lembaga-lembaga pendidikan
Islam seperti pesantren, Madrasah, Surau, dan semacamnya mempunyai andil besar
terhadap proses pemerdekaan bangsa dari belenggu penjajah. Lembaga-lembaga
tersebut menjadi tempat dan simbol perlawanan terhadap penjajah.
Lembaga pendidikan Pesantren yang dikenal
sebagai lembaga mandiri yang berbasiskan masyarakat bawah tak luput dari
pengawasan pemerintah Kolonial. Kolonial Belanda melalui tekanan dan pembatasan
yang sangat ketat dan kolonial Jepang dengan pengendalian. Hal ini dilakukan
sebab lembaga-lembaga pendidikan Islam dicurigai sebagai kantong-kantong
perlawanan dan pemberontakan terhadap penjajah. Oleh karena itu upaya
mendiskriditkan dan diskriminatif terhadap lembaga-lembaga tersebut dilakukan
melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan. Akibat kebijakan-kebijakan
diskriminatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut maka para pelopor
pendidikan Islam pada saat itu setidaknya mempunyai dua sikap yaitu passive-defensive
dan active -progressive.
Sikap passive-defensive nampak
pada usaha lembaga-lembaga pendidikan Islam menghindar dari pengaruh politik kolonial
terhadap system pendidikan Islam yang dipraktekkannya. Hal ini dapat dilihat di
lembaga pendidikan pesantren. Pesantren pada saat itu sepenuhnya menjaga jarak
dengan pemerintah kolonial, baik secara lokasi maupun orientasi pendidikannya.
Lokasi pesantren pada umumnya terletak di daerah-daerah yang jauh dari
pusat-pusat pemerintahan dan desa terpencil, sedangkan pendidikan pesantren
lebih berorientasi pada pembinaan mental-keagamaan. Posisi pesantren dalam hal
ini menjadi benteng pertahanan ummat atas penetrasi penjajah dalam bidang
pendidikan. Sikap dan pilihan pesantren menjadi lembaga yang mandiri dan bebas
dari pengaruh pemerintah kolonial memang terwujud meski harus dibayar dengan
resiko terasing dari perkembangan masyarakat modern, dan hal tersebut masih
tersisa sampai sekarang.
Sikap active-progressive memandang
bahwa tekanan, pengawasan dan pembatasan terhadap lembaga pendidikan Islam
merupakan kebijakan diskriminatif kolonial. Oleh karena itu, usaha yang harus
dilakukan umat Islam untuk “menyelamatkan” pendidikan Islam adalah berupaya
mencapai kesetaraan dan kesejajaran dengan lembaga-lembaga pendidikan lain,
baik dalam segi kelembagaan maupun kurukulumnya. Bagi para penggerak sikap ini
berpandangan bahwa ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin
melemahkan posisi umat Islam sendiri. Sebaliknya, membiarkan sikap defensive
terus-menerus akan semakin memberi ruang lebar bagi gerakan pendidikan kolonial.
Oleh karena itu diperlukan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang
produknya sama dengan sekolah ala kolonial, akan tetapi tidak tercerabut dari
akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya
sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar
jawa.[2]
Tekanan dan kebijakan diskriminatif kolonial
terus berjalan, namun demikian di bawah tekanan dan kebijakan tersebut
lembaga-lembaga pendidikan Islam justru mampu menghasilkan tokoh-tokoh tangguh
yang menjadi pioneer dan penggerak melawan penjajah menuju Indonesia
merdeka.
Hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde
baru dan reformasi lembaga pendidikan Islam tetap memberikan peran signifikan
terhadap perkembangan bangsa, mencerdaskan kehidupan ummat, dan memberikan
dasar-dasar pendidikan moral-keagamaan bagi kehidupan hidup berbangsa dan
bernegara. Begitu besar dan signifikannya pendidikan Islam bagi eksistensi
bangsa Indonesia, akan tetapi banyak kalangan menilai bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan Islam tidak sebanding dengan besarnya peran dan
jasanya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam hingga masa Orde Baru
tetap mendapatkan perlakukan yang diskriminatif dan kurang mencerminkan asas
keadilan. Kebijakan yang memihak baru nampak pada era reformasi dengan produk
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 yang
mengakomodir dan memasukkan pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional.
Tulisan ini berusaha mengulas perkembangan
kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pembahasan dimulai
dari pengertian kebijakan pendidikan Islam, kebijakan Pendidikan Islam dari
masa ke masa (masa pra-kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi), dan
madrasah dan Pesantren dalam kebijakan UUSPN.
B.
PENGERTIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian
Kebijakan
Banyak kalangan mempersoalkan dan
membedakan pengertian “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dalam studi kebijakan
publik di Indonesia. Petanyaan yang sering diajukan adalah apakah kebijakan dan
kebijaksanaan mempunyai arti yang sama atau berbeda?. Ali Imron berpendapat
bahwa kata “kebijaksanaan” merupakan terjemahan dalam bahasa inggris “policy”
yang berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, dan juga administrasi
pemerintah. Sedangkan kebijakan adalah terjemahan dari “wisdom”. Kata
“policy” kemudian memunculkan beberapa istilah yaitu politic, policy,
dan polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintahan (The
art and science of government); policy berarti hal-hal mengenai
kebijaksanaan pemerintah, dan polici yang berkenaan dengan pemerintahan.
Sedangkan wisdom (Kebijakan) adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang
berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada sesorang karena adanya
alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku. Dari
pembedaan terminology ini kemudian Imron
mendefinisikan kebijaksanaan (policy) sebagai aturan-aturan yang
semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa pun
dengan kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (wisdom) adalah suatu
ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan
kepada sesorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak
memberlakukan aturan yang berlaku.[3]
Definisi lain terkait dengan kebijakan
publik telah diungkapkan oleh para ahli di antaranya Carl J. Friedrick mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “Public policy is a proposed course of action of a
person, group, or government within a given environment providing obstacles and
opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an
effort to reach a goal or realize an objective or purpose”[4] (Kebijakan publik
adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu). James E.
Anderson; “Public policies are those policies developed by governmental
bodies and officials”[5] (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah), dan Syafaruddin mengartikan
kebijakan publik sebagai hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik
berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis
untuk megarahkan pada manager dan personel dalam menentukan masa depan
organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.[6]
Dari beberapa pengertian tersebut, jika
kebijakan dikaitkan dengan Pendidikan Islam (Islamic education policy) dapat
diartikan sebagai seperangkat aturan yang dirumuskan melalui proses pengambilan
keputusan oleh pejabat publik (pemerintah) mengenai pendidikan Islam dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
2.
Pengertian Pendidikan Islam
Terdapat banyak istilah untuk menyebutkan
pendidikan dalam Islam. Istilah-istilah tersebut berasal dari terminologi Arab yaitu “al-tarbiyah”,
“al-ta’dib”, “al-ta’lim”, “al-tadrib”, dan “al-riyadhoh”. Kelima terminologi
tersebut, yang popular menjadi bahasan pendidikan Islam oleh para pemikir
pendidikan adalah terminologi “al-tarbiyah”, “al-ta’dib”, dan “al-ta’lim”
sedangkan yang sering digunakan dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam adalah
terminologi “al-tarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah
al-Islamiyah”/ ( (التربية الآسلامية yang berarti pendidikan
Islam. Sedangkan terminologi yang lainnya jarang digunakan dan berkonotasi pada
pengertian pendidikan yang sempit seperti pendidikan non-formal dalam bentuk
majlis ta’lim, pengajian masyarakat, pelatihan dan lan-lain, meskipun
sesungguhnya terminologi ta’lim dan ta’dib juga digunakan pada awal
perkembangan Islam.
Pertanyaannya adalah terminologi mana
yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam?. Syed Muhammad Al-Naquib
Al-Attas memberikan pendapat bahwa istilah “ta’dib” adalah terminology
paling tepat untuk menyebut pendiidkan Islam, sebab struktur konsep ta’dib
sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan
pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa makna pendidikan Islam merujuk pada istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib
yang dipakai secara bersamaan.[7]
Berbeda dengan pendapat Al-Attas, Konferensi Internasional Islam I di Mekah
tahun 1977 mengartikan pendidikan Islam mencakup tiga pengertian sekali gus
yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.[8]
Terlepas dari berbagai pendapat tersebut,
dalam hal-hal tertentu ketiga terminologi—tarbiyah,
ta’lim, ta’dib—memiliki persamaan dan
perbedaan makna. Persamaan pengertian terletak kepada proses ilmu
pengetahuan (process of knowledge), Sementara
perbedaannya—secara semantic—terletak kepada penekanan pengertian dan
penggunaanya. Istilah tarbiyah (التربية) dipakai untuk menunjukkan
pendidikan secara berkesinambungan, artinya sesuai dengan tahapan-tahapan
kehidupannya dan hanya mengacu kepada kepemilikan pengetauan bukan penanaman.[9]
Istilah ta’lim (تعليم) digunakan dalam rangka usaha memberi pengetahuan—mengenalkan—dan
tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, sebab sedikit kemungkinan ke arah
pembentukan kepribadian yang dibebabkan oleh pemberian pengetahuan.[10]
Sedangkan istilah ta’dib (تأديب) lebih menekankan kepada usaha
pembentukan karakter dan kepribadian yang baik.
Terlepas dari perbedaan dan perdebatan makna
semantic tersebut, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformalisasi dan
mendefinisika pengertian pendidikan Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
Al-Syaibaniy, mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah-laku individu peserta didik
pada kehidupan pribadi, mayarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut
dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi
dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.[11]
Muhammad Fadhil al-Jamaly,
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan
terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna; baik yang berkaitan dengan
potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.[12]
Ahmad D. Marimba, mengemukakan
pengertian pendidikan Islam sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).[13]
Ahmad Tafsir, memberikan definisi
pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[14]
Beberapa pengertian tersebut di atas
menyiratkan bahwa pendidikan Islam sesungguhnya menghendaki terbentuknya
manusia yang berkepribadian muslim yang semua aspek-aspek kehidupannya
berlandaskan kepada ajaran Islam dan seluruh aktivitasnya diyakini sebagai
Ibadah dalam rangka pengabdian kepada Allah dan penyeraan diri kepada-Nya.
C.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Perkembangan kebijakan pendidikan Islam
di Indonesia dari awal pertumbuhannya hingga sekarang dapat dikaji melalui
empat masa yaitu pertama, masa pra-kemerdekaan; kedua, masa orde
lama; ketiga, masa orde baru; dan keempat masa reformasi. Berikut
akan di uraikan perkembangan kebijakan pendidikan Islam dari masa-masa tersebut.
1.
Masa Pra-Kemerdekaan
Secara historis, keberadaan pendidikan
Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya Islam ke Indonesia yaitu pada abad
ke-7.[15] Dengan
masuknya Islam ke Indonesia secara otomatis praktek pendidikan atau pengajaran
Islam telah ada meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Secara institusional,
pendidikan Islam mulai berkembang pada awal abad ke-20 M dengan didirikannya Madrasah
dan pondok-pondok pesantren/ surau baik di pulau jawa, Sumatra dan
Kalimantan.
Semangat pendirian madrasah sebagai
sentral pendidikan Islam setidaknya didasarkan pada dua hal pertama,
pendidikan Islam tradisional kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis
yang memadai. Kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di
masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekular sehingga harus
diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang lebih teratur dan terencana.
Dengan demikian didirikanlah sistem pendidikan Islam berbentuk madrasah baik di
Jawa maupun di Luar Jawa diantaranya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (1899
M), didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Madrasah formalnya didirikan pada tahun
1919 M, dengan nama Salafiyah, dan diasuh oleh K.H. Ilyas (mantan
Menteri Agama RI); madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan
umum.[16] Kemudian
Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Rejoso dan lain-lain. Di Sulawesi
Tengah didirikan Madrasah Al-Khairat sekitar tahun 1930, Madrasah
Al-Ittihad di Lombok Barat dan Madrasah Nahdatul Watan di Lombok
Timur. Di Kalimantan, Al-Najah wal Falah tahun 1918 di sungai Bakan
Besar Mempawah, Madrasah al-Sultaniyah di Sambas (Kalimantan Barat)
sekitar tahun 1922, Madrasah al-Raudotul Islamiyah di Pontianak tahun
1936, dan sekitar tahun 1928 berdiri Madrasah Normal Islam di Amuntai
Kalimantan Selatan oleh H. Abd. Rasyid, dan lainnya.[17]
Kebijakan pemerintah Belanda terhadap
Pendidikan Islam pada saat itu pada dasarnya bersifat menekan-diskriminatif.
Hal ini disebabkan kehawatiran pemerintah Belanda akan bangkitnya militansi
kaum muslim terpelajar dari madrasah tersebut. Oleh sebab itu Pendidikan Islam
harus dikontrol, diawasi dan dikendalikan. Salah satu kebijakan yang diberikan
adalah penerbitan Ordonansi Guru, yaitu kewajiban bagi guru-guru agama untuk
memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Akibat pemberlakuan Ordonansi guru
adalah tidak semua orang dapat menjadi guru agama dan diperbolehkan mengajar di
lembaga-lembaga pendidikan meskipun dia ahli agama. Latar belakang penerbitan
Ordonansi ini adalah bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga
pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Pengalaman penajajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun
1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Belanda untuk memberlakukan
Ordonansi Guru tersebut.[18]
Selain kebijakan ordonansi Guru,
pemerintah Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ordonansi ini
mengatur tentang kewajiban mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda bagi
penyelenggaraan pendidikan, melaporkan kurikulum dan keadaan sekolah. Ketidaklengkapan
laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan
masyarakat tertentu. Ordonansi Sekolah ini tentu manjadi faktor penghambat
perkembangan pendidikan Islam karena kurang tertibnya pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan Islam pada saat itu. Tak pelak, kebijakan ini
mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan termasuk dari penggerak pendidikan
Islam. Reaksi tersebut setidaknya berbentuk dua hal pertama passive-defensive
dan kedua active-progressive. Passive-defensive adalah reaksi
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berusaha menghindar jauh-jauh dari
pengaruh politik kolonial terhadap sistem pendidikan Islam yang
dipraktekkannya. Bentuk reaksi ini adalah pendirian pesantren-pesantren yang
terletak jauh dari pusat-pusat kota dan pemerintahan. Sedangkan active-progressive
adalah reaksi penggerak pendidikan Islam yang berusaha “menyelamatkan”
pendidikan Islam agar mencapai kesetaraan dan kesejajaran dengan
lembaga-lembaga pendidikan lain, baik dalam segi kelembagaan maupun
kurukulumnya. Bentuk reaksi ini berupa tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah
Islam atau madrasah.
Kebijakan diskriminatif berlanjut pada
masa penjajahan Jepang—walau lebih longgar dan memberikan sedikit
kebebasan—kebijakan pemerintah Jepang lebih berorientasi pada penguatan
pengaruh dan kekuasaan di Indonesia. Untuk mendapat simpati dan dukungan umat
Islam, Jepang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, selain itu
untuk mengontrol garakan pendidikan Islam pemerintahan Jepang juga banyak
mengangkat kalangan priyayi untuk menduduki jabatan-jabatan di Kantor Urusan
Agama. Di antara tugas Kantor ini adalah mengorganisir pertemuan dan pembinaan
guru-guru agama.[19] Dengan alasan pertemuan
dan pembinaan inilah pendidikan Islam—pesantren dan madrasah—tetap dapat
dipantau dan kontrol. Namun demikian pemberian sedikit kolonggaran terhadap
perkembanga pendidikan Islam ini menjadi babak baru bagi perkembangan dan
perluasan Pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan.
D.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE
LAMA
Pendidikan Islam sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional mengalami proses yang panjang, meskipun secara
historis pendidikan Islam telah dipraktekkan jauh sebelum Indonesia Merdeka. Keberadaan
pendidikan Islam pada awal kemerdekaan semakin jelas, karena lembaga-lembaga tersebut
telah diakui bahkan dilindungi dan dikembangkan oleh pemerintah. Undang-undang
Dasar 1945, pasal 31 ayat 2 menyatakan "Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diataur dengan
Undang-undang". Dengan demikian secara langsung penyelenggaraan
pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Selain itu,
berdasarkan rapat Badan Pekerja Kamite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal
22 Desember 1945 diantaranya memutuskan bahwa dalam rangka memajukan pendidikan
dan pengajaran di negeri ini, pendidikan di langgar-langgar dan
madrasah-madrasah dianjurkan agar berjalan terus dan diperpesat. Pernyataan
ini, kemudian diikuti dengan keluarnya keputusan BPKNIP yang menyatakan agar
madrasah-madrasah itu mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah.[20]
Perkembangan pendidikan Islam pada
masa ini erat-terkait dengan peran Departemen Agama yang secara intensif
memperjuangkan politik pendidikan Islam. Orientasi Departemen Agama dalam
bidang pendidikan Islam berdasarkan aspirasi umat Islam adalah agar pendidikan
agama diajarkan di sekolah-sekolah di samping pengembangan madrasah itu
sendiri. Kebijakan pendidikan Islam semakin signifikan sejak Departemen Agama mendapat
tanggungjawab membina dan pengembangan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan.[21] hal
yang menjadi pokok persoalan pemikiran pendidikan Islam.
Menurut catatan sejarah, Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang pertama Ki Hadjar
Dewantara menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan agama perlu dijalankan di
sekolah-sekolah negeri. Kemudian dalam rapat tertanggal 27 Desember 1945, Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan kepada kementrian
PP&K (dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara sendiri) agar mengusahakan
pembaharuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang sesuai dengan rencana
pokok usaha pendidikan dan pengajaran, meliputi sepuluh persoalan; termasuk di
dalamnya masalah pengajaran agama, madrasah dan pondok pesantren.[22] Akan
tetapi usulan BP-KNIP ini baru dapat terlaksana pada masa kementrian (PP&K)
dipegang oleh MR. Suwandi sekitar tanggal 2 Oktober 1946 sampai dengan 27 Juni
1947. Hal ini disebabkan ketidaksetabilan pemerintahan yang baru berdiri dan
akibat gonta-ganti kabinet.
Sebagai usaha pembaharuan tersebut pemerintah
membentuk panitia dan menerbitkan Surat Keputusan Menteri PP&K, No. 104.
Bhg. 0, tertanggal 1 Maret 1946 yang di antara tugasnya terkait dengan
pendidikan agama (Islam) adalah: (a) Hendaknya pelajaran agama diberikan pada
semua sekolah dalam jam pelajaran dan di Sekolah Rakyat (SR) diajarkan mulai
kelas IV, (b) Guru agama disediakan oleh Kementrian Agama dan dibayar oleh
Pemerintah, (c) Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum, (d) Pesantren dan
madrasah harus dipertinggi mutunya, (e) Tidak perlu bahasa Arab.[23]
Kemudian pendidikan Islam menemukan eksistensinya
ketika Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan bahwa: "Pemberian pelajaran
agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan
Perguruan Tinggi Negeri", di samping pengakuan bahwa "Pesantren dan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Depatemen
Agama".[24]
E.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE
BARU
Pada masa ini, kebijakan sistem
pendidikan nasional didasarkan pada Tap MPRS No.27, pasal 1 tanggal 5 Juli
1966; yang menetapkan bahwa "Agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur
mutlak dalam Nation and Character Building", dan sekaligus
menetapkan bahwa "Pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib
diikuti oleh setiap murid/mahasiswa sesuai dengan agamanya masing-masing".[25]
Pada pasal 4 TAP MPRS ini menyebutkan bahwa isi pendidikan untuk mencapai dasar
dan tujuan pendidikan adalah:
1)
Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan
memperkuat keyakinan beragama.
2)
Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3)
Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan
sehat.
Kemudian, MPRS hasil Pemilu 1973
mengeluarkan ketetapan No. 4/MPRS/1973 (juga dikenal dengan nama GBHN); yang
merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut:
"Pendidikan
pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah, berlangsung seumur hidup. Oleh
karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat dan sesuai dengan
kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggungjawab
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan
didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia-manusia pembangunan yang berpancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya; memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat
menyerukan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan
kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai
bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub
dalam UUD 1945"
Untuk selanjutnya, rumusan-rumusan
mengenai Pendidikan Nasional termuat dan ditetapkan dalam GBHN melalui
ketetapan MPR, tahun 1978, 1988, dan 1993. Rumusan tersebut semakin sempurna
dengan lahirnya UU RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dengan dilengkapi beberapa peraturan Pemerintah dalam kerangka pelaksanaannya.
Menurut UU No. 2 tahun 1989 Pendidikan Nasional bertujuan:
"Pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan".[26]
Dengan berlakunya Undang-undang beserta
peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka penyelenggaraan semua tingkat pendidikan
didasarkan pada UU tersebut termasuk pendidikan Islam.
F.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA REFORMASI
Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan
Nasional masih diatur oleh UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak
kalangan sudah tidak sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah, Pasal 11 yang menyatakan tentang "Daerah berkewajiban
menangani pendidikan". Atas dasar kritikan itulah, disusun dan disahkan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun
1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro
dan kontra. Catatan media menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan
UUSPN nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003
terdapat sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah
desentralisasi dan kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua,
ketidakjelasan tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat, ketiga
tanggungan biaya pendiidkan antara pemerintah dan masyarakat, keempat
pendidikan formal dan non-formal, kelima sentralitas agama, keenam
UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking.
Ketujuh, pembebanan sumberdaya pada masyarakat, kedelapan adanya
dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan kesepuluh
etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan.[27]
Kesepuluh persoalan tersebut, yang
menjadi perdebatan hangat dan menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau
pendidkan agama, pasal 3 dan 4, terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap
peserta didik pada setiap lembaga/ satuan pendidikan berhak mendapatlan
pedidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
agama yang seagama”. Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katholik
(MNPK) dan Majelis Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan atas pasal
tersebut dengan alasan bahwa pasal dan ayat tersebut membelenggu gerakan
kemandirian sekolah-sekolah swasta yang realitanya sangat “plural”. Selain itu,
mereka beranggapan bahwa undang-undang tersebut terlalu menekankan pendidikan
agama di sekolah sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan,
etika dan etos kerja dilupakan.
Tak pelak pro-kontra ini mendapat respon
dari berbagai pihak, diantaranya adalah tulisan Ali Masykur menjelaskan bahwa
Undang-undang terbaru ini (UUSPN nomor 20 Tahun 2003) sudah cukup akomodatif
dan representative bila dibandingkan dengan UU No. 12 tahun 1989, sebab selama
ini ada pandangan dan reaksi masyarakat yang menyoroti dasar filsafat
pendidikan, tujuan pendidikan yang diangap tidak mencerdaskan, campur tangan
pemerintah, aturan yang tidak demokratis dan memihak agama tertentu.[28]
Anwar Arifin menulis pada harian Republika bahwa di berlakukannya UU Sisdiknas
terbaru merupakan perkara yang logis dan wajar, sebab Undang-undang lama (No. 2
tahun 1989) sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang digulirkan
lewat UU No. 22 tahun 1999; selain itu, UU lama sarat dengan hegemoni
pemerintah terhadap pendidikan; sehingga kesempatan masyarakat untuk memiliki
andil terhadap pendidikan dikerdilkan. Padahal, secara jujur kita perlu
melakukan peningkatan mutu, relevansi, dan efesiensi pendidikan.[29]
Tulisan media yang kontra UU Sisdiknas
tersebut diantaranya adalah Sri Hartanto menyatakan bahwa Undang-undang
Sisdiknas ini merupakan upaya demoralisasi dan menjauhkan rakyat dari cita-cita
keadilan social dan kehidupan berbangsa dan bernegara,[30] dan
Franz Magnis Soseno menilai bahwa agamanisasi yang begitu kental hanya akan
memperburuk hasil pendidikan di sekolah selama agama dipahami secara formalistik,
ritualistik dan eksklusivistik. [31]
Terlepas dari pro-kontra tersebut,
akhirnya UUSPN nomor 20 tahun 2003 disahkan pada tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang
ini dinilai bagi penggerak pendidikan Islam sebagai titik awal kebangkitan
pendidikan Islam. Karena secara eksplisit, UU ini menyebutkan peran dan
kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk
pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Hal
ini menunjukkan adanya pengakuan bangsa terhadap sumbangan besar pendidikan Islam
(agama) dalam upaya mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, sebagaimana amanat UUSPN
nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat
(5), dan Pasal 37 ayat (3) tentang perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, maka ditetapkanlah PP nomor
55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan yang berfungsi sebagai
panduan teknis dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan.
Dengan demikian, diberlakukannya Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 menjadikan pendidikan Islam
semakin diakui dan turut berperan dalam peningkatan kualitas bangsa, selain itu
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam akan lebih baik dibanding dengan
kebijakan-kebijakan sebelumnya.
G. SIMPULAN
Simpulan dari paparan di atas adalah
bahwa kebijakan diskriminatif terhadap Pendidikan Islam terjadi sejak pra
kemerdekaan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang perkembangan
pendidikan Islam dihambat dengan cara mengontrol, mengendalikan dan mengawasinya
dengan berbagai kebijakan diantaranya ordonansi guru agama, sekolah dan
pengawasan dari pemerintah Jepang. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran
pemerintah kolonial terhadap timbulnya gerakan perlawanan rakyat melawan
pemerintah kolonial yang berpusat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam,
seperti pesantren dan madrasah.
Pada awal kemerdekaan, Orde Lama dan
Orde Baru sikap diskriminatif terhadap pendidikan Islam (agama) sesungguhnya
masih terasa. Pada masa-masa tersebut pendidikan Islam seperti pesantren dan
madrasah belum mendapatkan kesetaraan sepenuhnya dari pemerintah. Hal ini dapat
dirasakan dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam, dan tidak sepenuhnya menjadikannya sebagai bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional.
Harapan baru muncul pada masa
reformasi dengan ditetapkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang secara eksplisit menyebutkan
peran dan kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama
(termasuk pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan
nasional. Undang-undang tersebut dinilai sebagai titik awal kebangkitan
pendidikan Islam dalam bingkai kebijakan pendidikan yang berkesetaraan.
Daftar Isi
Abd.
Rahman Abdullah. (2001). Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi
Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: UII Press
Aboebakar Atjeh. (1957). Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim
Ahmad D. Marimba, (1989). Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:
Al-Ma'arif
Ahmad Tafsir. (1992). Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya
Ali Imron. (1995). Kebijaksanaan
Pendidikan di Indonesia; Proses, Produk, dan Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara
Al-Jamaly, Muhammad Fadhil. (1977). Nahwa
Tarbiyat Mukminat, al-Syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Thoumy.
(1979). Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Anderson,
James E. (1979). Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1979
Darmaningtiyas dkk. (2004). Membongkar
Ideoogi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
Yogyakarta: Resolusi Press
Friedrick, Carl J. (1963). Man
and His Government, New York: Mc Graw Hill
Ibrahim Bukhari. (1971). Sejarah
Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia, Jakarta: Publicita
King Abdul Aziz University, (1977). First
Word Conference on Muslim Education, Recommendation, Jedah and Makkah; King
Abdul Aziz University.
Machnun Husein. (1981). Pendidikan
Islam dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Nur Cahaya
Maksum.
(1999). Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos
Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muljanto Sumardi. (1977). Sejarah
Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LPIAK bekerja sama dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag
Mustafa, Abdullah Aly. (1998). Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK,
Bandung: CV. Pustaka Setia
Soegarda Poerbakawatja. (1970). Pendidikan
dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung
Syafaruddin.
(2008). Efektifitas Kebijakan; Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan
Menuju Organisasi Sekolah Efektif, Jakarta: Rineka Cipta
Wan Mohd Nor Wan Daud. (2003). Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan
Zakiah
Darajat. (1992). Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Zuhairini, et al. (1995). Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
PP nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan
UUSPN nomor 2 tahun 1989
UUSPN nomor 20 tahun 2003
Media:
Republika Tanggal 12 Mei 2003; Ali Masykur,
RUU Sisdiknas Sudah Cukup Akomodatif.
Republika Tanggal, 2 Mei 2003; Anwar
Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah.
Kompas, tanggal 18 Mei 2003; Sri Hartanto, RUUPN
Sisdiknas Jauhkan Rakyat Dari Cita-Cita Keadilan Sosial.
Kompas, Tanggal
8 Mei 2003; Dalam Franz Magnes Soseno, Pendidikan Pluralisme dan Kebebasan
Beragama.
[1] Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi
Ilmu Al Qur’an (STIQ) An Nur Yogyakarta. Sekarang sedang melanjutkan studi
program Doktor Administrasi Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung.
[2] Maksum, Madrasah, Sejarah dan
Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 117
[3] Ali Imron, Kebijaksanaan
Pendidikan di Indonesia; Proses, Produk, dan Masa Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 12-17
[5] James E. Anderson, Public
Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979, hal.3.
[6]
Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan; Konsep, Strategi dan Aplikasi
Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Ciota, 2008),
hal. 77
[7] Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
(Bandung: Mizan, 2003), hal. 175.
[8] King Abdul Aziz University, First
Word Conference on Muslim Education, Recommendation, Jedah and Makkah; King
Abdul Aziz University, 1977, hal. 15
[9] Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi
Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal 33
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 26
[11] Omar Mohammad
Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1979), hlm. 399
[12] Muhammad Fadhil
al-Jamaly, Nahwa Tarbiyat Mukminat, (al-Syirkat al-Tunisiyat li
al-Tauzi, 1977), hlm. 3
[13] Ahmad D. Marimba,
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Al-Ma'arif, 1989), hlm.
19
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992), hlm.
32
[15] Terdapat dua
pendapat mengenai awal Islam masuk ke Indonesia pertama awal Islam masuk
ke Indonesia sekitar abad ke-13. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya kerajaan
Islam pertama Samudera Pasai dengan ditemukannya batu nisan Sultan Malik-Saleh,
yang meninggal pada tahun 1297. Ibrahim Bukhari, Sejarah Masuknya Islam dan
Proses Islamisasi di Indonesia, (Jakarta: Publicita, 1971), hlm. 10. Kedua, awal Islam masuk ke Indonesia
terjadi sekitar abad ke-7 dengan telah dijadikannya Sumatra Utara sebagai
gerbang dari Ceylon ke Tiogkok/ Malaya sekitar tahun 684 oleh Sultan Taitisung,
Raja Tiongkok yang telah masuk Islam.
Lebih lanjut keterangan ini baca, Mustafa, Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 23-29
[16] Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan
Tersiar. (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim. 1957), hlm. 85
[18]
Masum, Maksum, Madrasah, … hal 115
[19] Masum, Maksum, Madrasah, … hal
118
[20] Machnun Husein, Pendidikan
Islam dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), hlm. 13
[21] Zuhairini, et al,
Sejarah Pendidikan…, hlm. 196
[22] Mengenai saran
BP-KNIP ini dapat dibaca di Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam
Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), hlm. 38
[23] Lebih lanjut
lihat Muljanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: LPIAK bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
Depag, 1977), hlm. 7.
[25] Muhaimin, Wacana
Pengembangan…., hlm. 87
[26] UUSPN nomor 2 tahun 1989 pasal 4
[27] Darmaningtiyas
dkk, Membongkar Ideoogi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), hal. 17-26
[28] Lihat dalam Ali
Masykur, RUU Sisdiknas Sudah Cukup Akomodatif, Harian Republika Tanggal
12 Mei 2003.
[29] Lihat dalam,
Anwar Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah, Harian Republika
Tanggal, 2 Mei 2003.
[30] Lihat dalam Sri
Hartanto, RUUPN Sisdiknas Jauhkan Rakyat Dari Cita-Cita Keadilan Sosial,
Kompas, tanggal 18 Mei 2003.
[31] Dalam Franz
Magnes Soseno, Pendidikan Pluralisme dan Kebebasan Beragama, Kompas,
Tanggal 8 Mei 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar