Selasa, 08 Mei 2012

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DARI MASA KE MASA



Dari Kebijakan Diskriminatif Menuju Kebijakan Berkeadilan
Imam Machali, S.Pd.I, M.Pd[1]

Abstract
Sejarah kebijakan pendidikan Islam dapat dilihat dari masa pra kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi. Sejak masa pra kemerdekaan hingga awal reformasi kebijakan pendidikan Islam dinilai diskriminatif dan tidak berkeadila. Baru kemudian pada masa reformasi dengan disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 kebijakan pendidikan Islam menemukan babak baru, sebab secara eksplisit UU tersebut menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan Islam (agama) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Momentum ini dinilai sebagai titik awal kebangkitan perkembangan pendidikan Islam yang berkeadilan.
Tulisan ini berusaha mendeskripsikan sejarah keijakan pendidikan Islam dari masa ke masa yaitu dari masa pra kemerdekaan hingga masa reformasi dengan produk UUSPN nomor 20 tahun 2003.

Kata kunci: pendidikan Islam dan kebijakan pendidikan

A.    PENDAHULUAN
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga masa sekarang (reformasi). Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, Madrasah, Surau, dan semacamnya mempunyai andil besar terhadap proses pemerdekaan bangsa dari belenggu penjajah. Lembaga-lembaga tersebut menjadi tempat dan simbol perlawanan terhadap penjajah.
Lembaga pendidikan Pesantren yang dikenal sebagai lembaga mandiri yang berbasiskan masyarakat bawah tak luput dari pengawasan pemerintah Kolonial. Kolonial Belanda melalui tekanan dan pembatasan yang sangat ketat dan kolonial Jepang dengan pengendalian. Hal ini dilakukan sebab lembaga-lembaga pendidikan Islam dicurigai sebagai kantong-kantong perlawanan dan pemberontakan terhadap penjajah. Oleh karena itu upaya mendiskriditkan dan diskriminatif terhadap lembaga-lembaga tersebut dilakukan melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan. Akibat kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut maka para pelopor pendidikan Islam pada saat itu setidaknya mempunyai dua sikap yaitu passive-defensive dan active -progressive.
Sikap passive-defensive nampak pada usaha lembaga-lembaga pendidikan Islam menghindar dari pengaruh politik kolonial terhadap system pendidikan Islam yang dipraktekkannya. Hal ini dapat dilihat di lembaga pendidikan pesantren. Pesantren pada saat itu sepenuhnya menjaga jarak dengan pemerintah kolonial, baik secara lokasi maupun orientasi pendidikannya. Lokasi pesantren pada umumnya terletak di daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan dan desa terpencil, sedangkan pendidikan pesantren lebih berorientasi pada pembinaan mental-keagamaan. Posisi pesantren dalam hal ini menjadi benteng pertahanan ummat atas penetrasi penjajah dalam bidang pendidikan. Sikap dan pilihan pesantren menjadi lembaga yang mandiri dan bebas dari pengaruh pemerintah kolonial memang terwujud meski harus dibayar dengan resiko terasing dari perkembangan masyarakat modern, dan hal tersebut masih tersisa sampai sekarang.
Sikap active-progressive memandang bahwa tekanan, pengawasan dan pembatasan terhadap lembaga pendidikan Islam merupakan kebijakan diskriminatif kolonial. Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan umat Islam untuk “menyelamatkan” pendidikan Islam adalah berupaya mencapai kesetaraan dan kesejajaran dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, baik dalam segi kelembagaan maupun kurukulumnya. Bagi para penggerak sikap ini berpandangan bahwa ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin melemahkan posisi umat Islam sendiri. Sebaliknya, membiarkan sikap defensive terus-menerus akan semakin memberi ruang lebar bagi gerakan pendidikan kolonial. Oleh karena itu diperlukan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala kolonial, akan tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar jawa.[2]
Tekanan dan kebijakan diskriminatif kolonial terus berjalan, namun demikian di bawah tekanan dan kebijakan tersebut lembaga-lembaga pendidikan Islam justru mampu menghasilkan tokoh-tokoh tangguh yang menjadi pioneer dan penggerak melawan penjajah menuju Indonesia merdeka.
Hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi lembaga pendidikan Islam tetap memberikan peran signifikan terhadap perkembangan bangsa, mencerdaskan kehidupan ummat, dan memberikan dasar-dasar pendidikan moral-keagamaan bagi kehidupan hidup berbangsa dan bernegara. Begitu besar dan signifikannya pendidikan Islam bagi eksistensi bangsa Indonesia, akan tetapi banyak kalangan menilai bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam tidak sebanding dengan besarnya peran dan jasanya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam hingga masa Orde Baru tetap mendapatkan perlakukan yang diskriminatif dan kurang mencerminkan asas keadilan. Kebijakan yang memihak baru nampak pada era reformasi dengan produk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 yang mengakomodir dan memasukkan pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Tulisan ini berusaha mengulas perkembangan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pembahasan dimulai dari pengertian kebijakan pendidikan Islam, kebijakan Pendidikan Islam dari masa ke masa (masa pra-kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi), dan madrasah dan Pesantren dalam kebijakan UUSPN.

B.       PENGERTIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pengertian Kebijakan
Banyak kalangan mempersoalkan dan membedakan pengertian “kebijakan” dan “kebijaksanaan” dalam studi kebijakan publik di Indonesia. Petanyaan yang sering diajukan adalah apakah kebijakan dan kebijaksanaan mempunyai arti yang sama atau berbeda?. Ali Imron berpendapat bahwa kata “kebijaksanaan” merupakan terjemahan dalam bahasa inggris “policy” yang berarti mengurus masalah atau kepentingan umum, dan juga administrasi pemerintah. Sedangkan kebijakan adalah terjemahan dari “wisdom”. Kata “policy” kemudian memunculkan beberapa istilah yaitu politic, policy, dan polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintahan (The art and science of government); policy berarti hal-hal mengenai kebijaksanaan pemerintah, dan polici yang berkenaan dengan pemerintahan. Sedangkan wisdom (Kebijakan) adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada sesorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku. Dari pembedaan  terminology ini kemudian Imron mendefinisikan kebijaksanaan (policy) sebagai aturan-aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa pun dengan kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (wisdom) adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada sesorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku.[3]
Definisi lain terkait dengan kebijakan publik telah diungkapkan oleh para ahli di antaranya Carl J. Friedrick  mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Public policy is a proposed course of action of a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or purpose”[4] (Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu). James E. Anderson; “Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials”[5] (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah), dan Syafaruddin mengartikan kebijakan publik sebagai hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk megarahkan pada manager dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.[6]
Dari beberapa pengertian tersebut, jika kebijakan dikaitkan dengan Pendidikan Islam (Islamic education policy) dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan oleh pejabat publik (pemerintah) mengenai pendidikan Islam dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
2.        Pengertian Pendidikan Islam
Terdapat banyak istilah untuk menyebutkan pendidikan dalam Islam. Istilah-istilah tersebut  berasal dari terminologi Arab yaitu “al-tarbiyah”, “al-ta’dib”, al-ta’lim”, “al-tadrib”, dan “al-riyadhoh”. Kelima terminologi tersebut, yang popular menjadi bahasan pendidikan Islam oleh para pemikir pendidikan adalah terminologi “al-tarbiyah”, “al-ta’dib”, dan al-ta’lim” sedangkan yang sering digunakan dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam adalah terminologi “al-tarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah al-Islamiyah”/ ( (التربية الآسلامية yang berarti pendidikan Islam. Sedangkan terminologi yang lainnya jarang digunakan dan berkonotasi pada pengertian pendidikan yang sempit seperti pendidikan non-formal dalam bentuk majlis ta’lim, pengajian masyarakat, pelatihan dan lan-lain, meskipun sesungguhnya terminologi ta’lim dan ta’dib juga digunakan pada awal perkembangan Islam.
Pertanyaannya adalah terminologi mana yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam?. Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas memberikan pendapat bahwa istilah “ta’dib” adalah terminology paling tepat untuk menyebut pendiidkan Islam, sebab struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa makna pendidikan Islam merujuk pada istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.[7] Berbeda dengan pendapat Al-Attas, Konferensi Internasional Islam I di Mekah tahun 1977 mengartikan pendidikan Islam mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.[8]
Terlepas dari berbagai pendapat tersebut, dalam hal-hal tertentu ketiga terminologi—tarbiyah, ta’lim, ta’dib—memiliki persamaan dan perbedaan makna. Persamaan pengertian terletak kepada proses ilmu pengetahuan (process of knowledge), Sementara perbedaannya—secara semantic—terletak kepada penekanan pengertian dan penggunaanya. Istilah tarbiyah (التربية) dipakai untuk menunjukkan pendidikan secara berkesinambungan, artinya sesuai dengan tahapan-tahapan kehidupannya dan hanya mengacu kepada kepemilikan pengetauan bukan penanaman.[9] Istilah ta’lim (تعليم) digunakan dalam rangka usaha memberi pengetahuan—mengenalkan—dan tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, sebab sedikit kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang dibebabkan oleh pemberian pengetahuan.[10] Sedangkan istilah ta’dib (تأديب) lebih menekankan kepada usaha pembentukan karakter dan kepribadian yang baik.
Terlepas dari perbedaan dan perdebatan makna semantic tersebut, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformalisasi dan mendefinisika pengertian pendidikan Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
Al-Syaibaniy, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah-laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, mayarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.[11]
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna; baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.[12]
Ahmad D. Marimba, mengemukakan pengertian pendidikan Islam sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).[13]
Ahmad Tafsir, memberikan definisi pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[14]
Beberapa pengertian tersebut di atas menyiratkan bahwa pendidikan Islam sesungguhnya menghendaki terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim yang semua aspek-aspek kehidupannya berlandaskan kepada ajaran Islam dan seluruh aktivitasnya diyakini sebagai Ibadah dalam rangka pengabdian kepada Allah dan penyeraan diri kepada-Nya.

C.      KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Perkembangan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dari awal pertumbuhannya hingga sekarang dapat dikaji melalui empat masa yaitu pertama, masa pra-kemerdekaan; kedua, masa orde lama; ketiga, masa orde baru; dan keempat masa reformasi. Berikut akan di uraikan perkembangan kebijakan pendidikan Islam dari masa-masa tersebut.

1.      Masa Pra-Kemerdekaan
Secara historis, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya Islam ke Indonesia yaitu pada abad ke-7.[15] Dengan masuknya Islam ke Indonesia secara otomatis praktek pendidikan atau pengajaran Islam telah ada meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Secara institusional, pendidikan Islam mulai berkembang pada awal abad ke-20 M dengan didirikannya Madrasah dan pondok-pondok pesantren/ surau baik di pulau jawa, Sumatra dan Kalimantan. 
Semangat pendirian madrasah sebagai sentral pendidikan Islam setidaknya didasarkan pada dua hal pertama, pendidikan Islam tradisional kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekular sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang lebih teratur dan terencana. Dengan demikian didirikanlah sistem pendidikan Islam berbentuk madrasah baik di Jawa maupun di Luar Jawa diantaranya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (1899 M), didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Madrasah formalnya didirikan pada tahun 1919 M, dengan nama Salafiyah, dan diasuh oleh K.H. Ilyas (mantan Menteri Agama RI); madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.[16] Kemudian Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Rejoso dan lain-lain. Di Sulawesi Tengah didirikan Madrasah Al-Khairat sekitar tahun 1930, Madrasah Al-Ittihad di Lombok Barat dan Madrasah Nahdatul Watan di Lombok Timur. Di Kalimantan, Al-Najah wal Falah tahun 1918 di sungai Bakan Besar Mempawah, Madrasah al-Sultaniyah di Sambas (Kalimantan Barat) sekitar tahun 1922, Madrasah al-Raudotul Islamiyah di Pontianak tahun 1936, dan sekitar tahun 1928 berdiri Madrasah Normal Islam di Amuntai Kalimantan Selatan oleh H. Abd. Rasyid, dan lainnya.[17]
Kebijakan pemerintah Belanda terhadap Pendidikan Islam pada saat itu pada dasarnya bersifat menekan-diskriminatif. Hal ini disebabkan kehawatiran pemerintah Belanda akan bangkitnya militansi kaum muslim terpelajar dari madrasah tersebut. Oleh sebab itu Pendidikan Islam harus dikontrol, diawasi dan dikendalikan. Salah satu kebijakan yang diberikan adalah penerbitan Ordonansi Guru, yaitu kewajiban bagi guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Akibat pemberlakuan Ordonansi guru adalah tidak semua orang dapat menjadi guru agama dan diperbolehkan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan meskipun dia ahli agama. Latar belakang penerbitan Ordonansi ini adalah bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penajajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Belanda untuk memberlakukan Ordonansi Guru tersebut.[18]
Selain kebijakan ordonansi Guru, pemerintah Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ordonansi ini mengatur tentang kewajiban mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda bagi penyelenggaraan pendidikan, melaporkan kurikulum dan keadaan sekolah. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat tertentu. Ordonansi Sekolah ini tentu manjadi faktor penghambat perkembangan pendidikan Islam karena kurang tertibnya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan Islam pada saat itu. Tak pelak, kebijakan ini mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan termasuk dari penggerak pendidikan Islam. Reaksi tersebut setidaknya berbentuk dua hal pertama passive-defensive dan kedua active-progressive. Passive-defensive adalah reaksi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berusaha menghindar jauh-jauh dari pengaruh politik kolonial terhadap sistem pendidikan Islam yang dipraktekkannya. Bentuk reaksi ini adalah pendirian pesantren-pesantren yang terletak jauh dari pusat-pusat kota dan pemerintahan. Sedangkan active-progressive adalah reaksi penggerak pendidikan Islam yang berusaha “menyelamatkan” pendidikan Islam agar mencapai kesetaraan dan kesejajaran dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, baik dalam segi kelembagaan maupun kurukulumnya. Bentuk reaksi ini berupa tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah Islam atau madrasah.
Kebijakan diskriminatif berlanjut pada masa penjajahan Jepang—walau lebih longgar dan memberikan sedikit kebebasan—kebijakan pemerintah Jepang lebih berorientasi pada penguatan pengaruh dan kekuasaan di Indonesia. Untuk mendapat simpati dan dukungan umat Islam, Jepang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, selain itu untuk mengontrol garakan pendidikan Islam pemerintahan Jepang juga banyak mengangkat kalangan priyayi untuk menduduki jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama. Di antara tugas Kantor ini adalah mengorganisir pertemuan dan pembinaan guru-guru agama.[19] Dengan alasan pertemuan dan pembinaan inilah pendidikan Islam—pesantren dan madrasah—tetap dapat dipantau dan kontrol. Namun demikian pemberian sedikit kolonggaran terhadap perkembanga pendidikan Islam ini menjadi babak baru bagi perkembangan dan perluasan Pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan.

D.      KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA
Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional mengalami proses yang panjang, meskipun secara historis pendidikan Islam telah dipraktekkan jauh sebelum Indonesia Merdeka. Keberadaan pendidikan Islam pada awal kemerdekaan semakin jelas, karena lembaga-lembaga tersebut telah diakui bahkan dilindungi dan dikembangkan oleh pemerintah. Undang-undang Dasar 1945, pasal 31 ayat 2 menyatakan "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diataur dengan Undang-undang". Dengan demikian secara langsung penyelenggaraan pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Selain itu, berdasarkan rapat Badan Pekerja Kamite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal 22 Desember 1945 diantaranya memutuskan bahwa dalam rangka memajukan pendidikan dan pengajaran di negeri ini, pendidikan di langgar-langgar dan madrasah-madrasah dianjurkan agar berjalan terus dan diperpesat. Pernyataan ini, kemudian diikuti dengan keluarnya keputusan BPKNIP yang menyatakan agar madrasah-madrasah itu mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah.[20]
Perkembangan pendidikan Islam pada masa ini erat-terkait dengan peran Departemen Agama yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam. Orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam berdasarkan aspirasi umat Islam adalah agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah di samping pengembangan madrasah itu sendiri. Kebijakan pendidikan Islam semakin signifikan sejak Departemen Agama mendapat tanggungjawab membina dan pengembangan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan.[21] hal yang menjadi pokok persoalan pemikiran pendidikan Islam.
Menurut catatan sejarah, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang pertama Ki Hadjar Dewantara menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan agama perlu dijalankan di sekolah-sekolah negeri. Kemudian dalam rapat tertanggal 27 Desember 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan kepada kementrian PP&K (dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara sendiri) agar mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan pengajaran, meliputi sepuluh persoalan; termasuk di dalamnya masalah pengajaran agama, madrasah dan pondok pesantren.[22] Akan tetapi usulan BP-KNIP ini baru dapat terlaksana pada masa kementrian (PP&K) dipegang oleh MR. Suwandi sekitar tanggal 2 Oktober 1946 sampai dengan 27 Juni 1947. Hal ini disebabkan ketidaksetabilan pemerintahan yang baru berdiri dan akibat gonta-ganti kabinet.
Sebagai usaha pembaharuan tersebut pemerintah membentuk panitia dan menerbitkan Surat Keputusan Menteri PP&K, No. 104. Bhg. 0, tertanggal 1 Maret 1946 yang di antara tugasnya terkait dengan pendidikan agama (Islam) adalah: (a) Hendaknya pelajaran agama diberikan pada semua sekolah dalam jam pelajaran dan di Sekolah Rakyat (SR) diajarkan mulai kelas IV, (b) Guru agama disediakan oleh Kementrian Agama dan dibayar oleh Pemerintah, (c) Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum, (d) Pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya, (e) Tidak perlu bahasa Arab.[23]
Kemudian pendidikan Islam menemukan eksistensinya ketika Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan bahwa: "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri", di samping pengakuan bahwa "Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Depatemen Agama".[24]
    
E.       KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU
Pada masa ini, kebijakan sistem pendidikan nasional didasarkan pada Tap MPRS No.27, pasal 1 tanggal 5 Juli 1966; yang menetapkan bahwa "Agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building", dan sekaligus menetapkan bahwa "Pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap murid/mahasiswa sesuai dengan agamanya masing-masing".[25] Pada pasal 4 TAP MPRS ini menyebutkan bahwa isi pendidikan untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan adalah:
1)      Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2)      Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3)      Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. 
Kemudian, MPRS hasil Pemilu 1973 mengeluarkan ketetapan No. 4/MPRS/1973 (juga dikenal dengan nama GBHN); yang merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut:
"Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah, berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat dan sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggungjawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berpancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya; memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyerukan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945"
Untuk selanjutnya, rumusan-rumusan mengenai Pendidikan Nasional termuat dan ditetapkan dalam GBHN melalui ketetapan MPR, tahun 1978, 1988, dan 1993. Rumusan tersebut semakin sempurna dengan lahirnya UU RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan dilengkapi beberapa peraturan Pemerintah dalam kerangka pelaksanaannya. Menurut UU No. 2 tahun 1989 Pendidikan Nasional bertujuan:
"Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan".[26]
Dengan berlakunya Undang-undang beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka penyelenggaraan semua tingkat pendidikan didasarkan pada UU tersebut termasuk pendidikan Islam.

F.   KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA REFORMASI
Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan Nasional masih diatur oleh UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak kalangan sudah tidak sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, Pasal 11 yang menyatakan tentang "Daerah berkewajiban menangani pendidikan". Atas dasar kritikan itulah, disusun dan disahkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003 terdapat sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah desentralisasi dan kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua, ketidakjelasan tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat, ketiga tanggungan biaya pendiidkan antara pemerintah dan masyarakat, keempat pendidikan formal dan non-formal, kelima sentralitas agama, keenam UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking. Ketujuh, pembebanan sumberdaya pada masyarakat, kedelapan adanya dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan kesepuluh etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan.[27]
Kesepuluh persoalan tersebut, yang menjadi perdebatan hangat dan menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau pendidkan agama, pasal 3 dan 4, terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap peserta didik pada setiap lembaga/ satuan pendidikan berhak mendapatlan pedidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik agama yang seagama”. Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katholik (MNPK) dan Majelis Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan atas pasal tersebut dengan alasan bahwa pasal dan ayat tersebut membelenggu gerakan kemandirian sekolah-sekolah swasta yang realitanya sangat “plural”. Selain itu, mereka beranggapan bahwa undang-undang tersebut terlalu menekankan pendidikan agama di sekolah sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan, etika dan etos kerja dilupakan.
Tak pelak pro-kontra ini mendapat respon dari berbagai pihak, diantaranya adalah tulisan Ali Masykur menjelaskan bahwa Undang-undang terbaru ini (UUSPN nomor 20 Tahun 2003) sudah cukup akomodatif dan representative bila dibandingkan dengan UU No. 12 tahun 1989, sebab selama ini ada pandangan dan reaksi masyarakat yang menyoroti dasar filsafat pendidikan, tujuan pendidikan yang diangap tidak mencerdaskan, campur tangan pemerintah, aturan yang tidak demokratis dan memihak agama tertentu.[28] Anwar Arifin menulis pada harian Republika bahwa di berlakukannya UU Sisdiknas terbaru merupakan perkara yang logis dan wajar, sebab Undang-undang lama (No. 2 tahun 1989) sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang digulirkan lewat UU No. 22 tahun 1999; selain itu, UU lama sarat dengan hegemoni pemerintah terhadap pendidikan; sehingga kesempatan masyarakat untuk memiliki andil terhadap pendidikan dikerdilkan. Padahal, secara jujur kita perlu melakukan peningkatan mutu, relevansi, dan efesiensi pendidikan.[29]
Tulisan media yang kontra UU Sisdiknas tersebut diantaranya adalah Sri Hartanto menyatakan bahwa Undang-undang Sisdiknas ini merupakan upaya demoralisasi dan menjauhkan rakyat dari cita-cita keadilan social dan kehidupan berbangsa dan bernegara,[30] dan Franz Magnis Soseno menilai bahwa agamanisasi yang begitu kental hanya akan memperburuk hasil pendidikan di sekolah selama agama dipahami secara formalistik, ritualistik dan eksklusivistik. [31]
Terlepas dari pro-kontra tersebut, akhirnya UUSPN nomor 20 tahun 2003 disahkan pada tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang ini dinilai bagi penggerak pendidikan Islam sebagai titik awal kebangkitan pendidikan Islam. Karena secara eksplisit, UU ini menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bangsa terhadap sumbangan besar pendidikan Islam (agama) dalam upaya mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, sebagaimana amanat UUSPN nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) tentang perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, maka ditetapkanlah PP nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan yang berfungsi sebagai panduan teknis dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan.
Dengan demikian, diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 menjadikan pendidikan Islam semakin diakui dan turut berperan dalam peningkatan kualitas bangsa, selain itu pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam akan lebih baik dibanding dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

G.      SIMPULAN
Simpulan dari paparan di atas adalah bahwa kebijakan diskriminatif terhadap Pendidikan Islam terjadi sejak pra kemerdekaan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang perkembangan pendidikan Islam dihambat dengan cara mengontrol, mengendalikan dan mengawasinya dengan berbagai kebijakan diantaranya ordonansi guru agama, sekolah dan pengawasan dari pemerintah Jepang. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap timbulnya gerakan perlawanan rakyat melawan pemerintah kolonial yang berpusat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah.
Pada awal kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru sikap diskriminatif terhadap pendidikan Islam (agama) sesungguhnya masih terasa. Pada masa-masa tersebut pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah belum mendapatkan kesetaraan sepenuhnya dari pemerintah. Hal ini dapat dirasakan dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan tidak sepenuhnya menjadikannya sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.
Harapan baru muncul pada masa reformasi dengan ditetapkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang secara eksplisit menyebutkan peran dan kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Undang-undang tersebut dinilai sebagai titik awal kebangkitan pendidikan Islam dalam bingkai kebijakan pendidikan yang berkesetaraan.




Daftar Isi
Abd. Rahman Abdullah. (2001). Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: UII Press
Aboebakar Atjeh. (1957).  Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim
Ahmad D. Marimba, (1989). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:  Al-Ma'arif
Ahmad Tafsir. (1992). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya
Ali Imron. (1995). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia; Proses, Produk, dan Masa Depannya, Jakarta:  Bumi Aksara
Al-Jamaly, Muhammad Fadhil. (1977). Nahwa Tarbiyat Mukminat, al-Syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Thoumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang
Anderson, James E. (1979). Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979
Darmaningtiyas dkk. (2004). Membongkar Ideoogi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Resolusi Press
Friedrick, Carl J. (1963). Man and His Government, New York: Mc Graw Hill
Ibrahim Bukhari. (1971). Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia, Jakarta: Publicita
King Abdul Aziz University, (1977). First Word Conference on Muslim Education, Recommendation, Jedah and Makkah; King Abdul Aziz University.
Machnun Husein. (1981). Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Nur Cahaya
Maksum. (1999). Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos
Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muljanto Sumardi. (1977). Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LPIAK bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag
Mustafa, Abdullah Aly. (1998). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK, Bandung: CV. Pustaka Setia
Soegarda Poerbakawatja. (1970). Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung
Syafaruddin. (2008). Efektifitas Kebijakan; Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, Jakarta: Rineka Cipta
Wan Mohd Nor Wan Daud. (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan
Zakiah Darajat. (1992). Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Zuhairini, et al. (1995). Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
PP nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
UUSPN nomor 2 tahun 1989
UUSPN nomor 20 tahun 2003

Media:
Republika Tanggal 12 Mei 2003; Ali Masykur, RUU Sisdiknas Sudah Cukup Akomodatif.
Republika Tanggal, 2 Mei 2003; Anwar Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah.
Kompas, tanggal 18 Mei 2003; Sri Hartanto, RUUPN Sisdiknas Jauhkan Rakyat Dari Cita-Cita Keadilan Sosial.
Kompas, Tanggal 8 Mei 2003; Dalam Franz Magnes Soseno, Pendidikan Pluralisme dan Kebebasan Beragama.







[1] Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) An Nur Yogyakarta. Sekarang sedang melanjutkan studi program Doktor Administrasi Pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
[2] Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 117
[3] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia; Proses, Produk, dan Masa Depannya, (Jakarta:  Bumi Aksara, 1995), hlm. 12-17
[4] Carl J. Friedrick, Man and His Government, New York: Mc Graw Hill, 1963, hal.79.
[5] James E. Anderson, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1979, hal.3.
[6]  Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan; Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Jakarta: Rineka Ciota, 2008), hal. 77
[7] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 175.
[8] King Abdul Aziz University, First Word Conference on Muslim Education, Recommendation, Jedah and Makkah; King Abdul Aziz University, 1977, hal. 15
[9] Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Rekonruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal 33
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 26
[11] Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 399
[12] Muhammad Fadhil al-Jamaly, Nahwa Tarbiyat Mukminat, (al-Syirkat al-Tunisiyat li al-Tauzi, 1977), hlm. 3
[13] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, Al-Ma'arif, 1989), hlm. 19
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 32
[15] Terdapat dua pendapat mengenai awal Islam masuk ke Indonesia pertama awal Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya kerajaan Islam pertama Samudera Pasai dengan ditemukannya batu nisan Sultan Malik-Saleh, yang meninggal pada tahun 1297. Ibrahim Bukhari, Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia, (Jakarta: Publicita, 1971), hlm. 10.  Kedua, awal Islam masuk ke Indonesia terjadi sekitar abad ke-7 dengan telah dijadikannya Sumatra Utara sebagai gerbang dari Ceylon ke Tiogkok/ Malaya sekitar tahun 684 oleh Sultan Taitisung, Raja Tiongkok  yang telah masuk Islam. Lebih lanjut keterangan ini baca, Mustafa, Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 23-29
[16] Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasyim. 1957), hlm. 85
 [17] Zuhairini, et al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 192-196
[18]  Masum, Maksum, Madrasah, … hal 115
[19] Masum, Maksum, Madrasah, … hal 118
[20] Machnun Husein, Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), hlm. 13 
[21] Zuhairini, et al, Sejarah Pendidikan…, hlm. 196
[22] Mengenai saran BP-KNIP ini dapat dibaca di Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), hlm. 38
[23] Lebih lanjut lihat Muljanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: LPIAK bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Depag, 1977), hlm. 7.
  [24] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),  hlm. 13
[25] Muhaimin, Wacana Pengembangan…., hlm. 87 
[26] UUSPN nomor 2 tahun 1989 pasal 4
[27] Darmaningtiyas dkk, Membongkar Ideoogi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), hal. 17-26
[28] Lihat dalam Ali Masykur, RUU Sisdiknas Sudah Cukup Akomodatif, Harian Republika Tanggal 12 Mei 2003.
[29] Lihat dalam, Anwar Arifin, Hanya Ditunda, Tidak Akan Diubah, Harian Republika Tanggal, 2 Mei 2003.
[30] Lihat dalam Sri Hartanto, RUUPN Sisdiknas Jauhkan Rakyat Dari Cita-Cita Keadilan Sosial, Kompas, tanggal 18 Mei 2003.
[31] Dalam Franz Magnes Soseno, Pendidikan Pluralisme dan Kebebasan Beragama, Kompas, Tanggal 8 Mei 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar