Mencermati
dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan sekolah pada khususnya merupakan
satu hal yang menarik. Sudah enam puluh tiga tahun negeri ini merdeka tetapi
dunia pendidikan bukannya semakin baik malah justru sebaliknya semakin
terpuruk. Dulu, negara tetangga kita Malasyia mengirimkan mahasiswanya kuliah
di universitas Indonesia baik itu UI, ITB, UGM dan yang lainnya. Tetapi
sekarang berkebalikan, mahasiswa Indonesia justru belajar di universitas
Malasyia. Vietnam adalah salah satu negara yang berhasil menyalip Indonesia
dalam bidang pendidikan dan tidak menutup kemungkinan negara-negara lain yang
dahulu kalah dengan Indonesia sekarang akan menjadi lebih maju dalam
pendidikan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Banyak pakar pendidikan
memberikan argumen tentang kemunduran pendidikan di Indonesia, ada yang
menyoroti sistem pendidikan yang salah, ada yang mengatakan kurikulum
pendidikan Indonesia jelek, ada yang mengatakan tidak ada kesinambungan dalam
membangun pendidikan dengan ganti menteri ganti kurikulum dan argumen yang
lainnya. Saya tidak akan menyoroti hal tersebut, karena menurut hemat saya
tidak ada yang salah dari kurikulum dan tidak ada yang salah dengan sistem
pendidikan Indonesia. Saya mencoba mengkaji dari sudut pandang lain, dalam hal
ini adalah partisipasi masyarakat dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Bergelut dengan dunia pendidikan selama ini, saya melihat ada empat golongan
peserta didik. Peserta didik dalam hal ini adalah murid dan orang tuanya.
Golongan tersebut adalah:
- Murid pinter dengan orang tuanya kaya
- Murid pinter dengan orang tuanya miskin
- Murid bodoh dengan orang tuanya kaya
- Murid bodoh dengan orang tuanya miskin
Akan
saya bahas satu persatu golongan tersebut dan implikasinya terhadap kemunduran
pendidikan di Indonesia.
Golongan yang pertama adalah murid
pinter dengan orang tuanya kaya.
Ini adalah golongan yang ideal. Karakter siswa golongan ini memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi, suka bekerja keras dan rajin belajar. Karakter ini didukung
oleh finansial orang tua yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan anak dalam
belajar, baik itu ketersediaan buku, mendatangkan guru untuk memberi les
privat, memiliki komputer dengan akses internet dan asupan gizi yang lebih dari
cukup. Orang tua dalam golongan ini juga sangat perhatian dalam mendorong
anaknya untuk belajar. Meluangkan waktu untuk menemani anak belajar dan
membantu kesulitan anak dalam belajar serta memberi motivasi kepada anaknya
untuk maju. Yang paling penting dari keberadaan orang tua golongan ini adalah
bisa memberi contoh kepada anaknya bahwa orang tua mereka adalah orang yang berhasil.
Golongan ini memberi konstribusi yang besar terhadap kemajuan pendidikan di
Indonesia tetapi kurang berarti karena jumlahnya sedikit.
Golongan kedua adalah murid pinter dengan orang tua
yang miskin.
Karakter siswa golongan ini sama dengan golongan pertama tetapi yang berbeda
adalah dukungan orang tua. Orang tua dalam golongan ini cukup perhatian
terhadap kemajuan pendidikan anaknya tetapi tidak bisa membantu anak memenuhi
kebutuhannya dalam belajar seperti penyediaan buku, memberikan guru les dan memberikan
asupan gizi yang cukup baik. Golongan ini sebetulnya yang perlu dibantu baik
itu oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Jadi beasiswa harusnya diberikan
hanya untuk golongan ini. Siswa golongan ini dapat memberikan kontribusinya
untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Golongan yang ketiga adalah anak bodoh
dengan orang tua yang kaya.
Golongan ini masih bisa memberikan konstribusi untuk kemajuan pendidikan di
Indonesia melalui kekuatan ekonomi orang tuanya. Sekolah bisa memberdayakan
golongan ini untuk kemajuan sekolah seperti memberikan beasiswa untuk golongan
kedua, menambah peralatan sekolah, dan menambah kesejahteraan guru. Dengan
peralatan sekolah yang memadai dan guru yang sejahtera, saya yakin kemajuan
pendidikan akan diperoleh.
Golongan yang keempat adalah anak bodoh
dengan orang tua miskin.
Golongan keempat ini adalah golongan yang sangat tidak harapkan karena akan
menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Golongan ini pula yang sering
membuat masalah di sekolah. Karakter anak golongan ini tidak mau bekerja keras,
malas belajar dan meminta perhatian guru dengan membuat masalah. Sementara dari
pihak orang tua akan membebani keuangan sekolah sehingga menghambat kegiatan
belajar mengajar. Golongan ini adalah mayoritas di negeri ini sehingga sangat
signifikan dalam memberikan konstribusinya dalam menghambat kemajuan pendidikan
di Indonesia. Itulah mengapa pendidikan di Indonesia tidak mengalami kemajuan
walaupun sudah merdeka enam puluh tiga tahun. Cara terbaik adalah mengurangi
jumlah golongan keempat dan jangan memberikan beasiswa pada golongan ini karena
akan sia-sia.
Notulen :
DR.H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes.
NIP-UMM: 104.8909.0118
meng�
- i p � � �X didikan formal yang menghabiskan banyak
waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal
lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa
proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar
pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya
bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi
pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan
menbuat tertarik peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah
proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru
lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan
pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga
menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya
dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep
efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis.
Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara
fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi
ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan
terhadap keluaran.
2.3.3 Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam
berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir
selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti
UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan,
hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik
yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya
berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja
tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya
sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali
lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar
permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga
jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia.
2.3.3.1 Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas.
Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik,
299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya
lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan
ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang
tidak sama.
2.3.3.2 Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
2.3.3.3 Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat
pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain
yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
2.3.3.4 Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
2.3.3.5 Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah
yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2.3.3.6 Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%
dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
2.3.3.7 Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
2.4 Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial
yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan
sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya
praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang
menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi
pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi
penyebabnya yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya kesejahteraan guru,
4. Rendahnya prestasi siswa,
5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7. Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan
meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
3.2 Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan
kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat
dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia
agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang
terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing
secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous,2000.The World Economic Forum Swedia .Diakses dari
http://forum.detik.com.Tanggal 10 Desember 2009.
Anonymous,2000. Efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com. Tanggal 10 Desember 2009
Anonymous,2009. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari
http://www.detiknews.com. Tanggal 10 Desember 2009
Anonymous,2009. Sistem pendidikan .Diakses dari
http://www.sib-bangkok.org. Tanggal 10 Desember 2009.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Anonymous,2009.Masalah-pendidikan-di-indonesia.Oleh
http://www.sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/Lhani di/pada Maret 8, 2009.
Golongan yang pertama adalah murid pinter dengan orang tuanya kaya.
Ini adalah golongan yang ideal. Karakter siswa golongan ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka bekerja keras dan rajin belajar. Karakter ini didukung oleh finansial orang tua yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan anak dalam belajar, baik itu ketersediaan buku, mendatangkan guru untuk memberi les privat, memiliki komputer dengan akses internet dan asupan gizi yang lebih dari cukup. Orang tua dalam golongan ini juga sangat perhatian dalam mendorong anaknya untuk belajar. Meluangkan waktu untuk menemani anak belajar dan membantu kesulitan anak dalam belajar serta memberi motivasi kepada anaknya untuk maju. Yang paling penting dari keberadaan orang tua golongan ini adalah bisa memberi contoh kepada anaknya bahwa orang tua mereka adalah orang yang berhasil. Golongan ini memberi konstribusi yang besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia tetapi kurang berarti karena jumlahnya sedikit.
Karakter siswa golongan ini sama dengan golongan pertama tetapi yang berbeda adalah dukungan orang tua. Orang tua dalam golongan ini cukup perhatian terhadap kemajuan pendidikan anaknya tetapi tidak bisa membantu anak memenuhi kebutuhannya dalam belajar seperti penyediaan buku, memberikan guru les dan memberikan asupan gizi yang cukup baik. Golongan ini sebetulnya yang perlu dibantu baik itu oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Jadi beasiswa harusnya diberikan hanya untuk golongan ini. Siswa golongan ini dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Golongan yang ketiga adalah anak bodoh dengan orang tua yang kaya.
Golongan ini masih bisa memberikan konstribusi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia melalui kekuatan ekonomi orang tuanya. Sekolah bisa memberdayakan golongan ini untuk kemajuan sekolah seperti memberikan beasiswa untuk golongan kedua, menambah peralatan sekolah, dan menambah kesejahteraan guru. Dengan peralatan sekolah yang memadai dan guru yang sejahtera, saya yakin kemajuan pendidikan akan diperoleh.
Golongan yang keempat adalah anak bodoh dengan orang tua miskin.
Golongan keempat ini adalah golongan yang sangat tidak harapkan karena akan menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Golongan ini pula yang sering membuat masalah di sekolah. Karakter anak golongan ini tidak mau bekerja keras, malas belajar dan meminta perhatian guru dengan membuat masalah. Sementara dari pihak orang tua akan membebani keuangan sekolah sehingga menghambat kegiatan belajar mengajar. Golongan ini adalah mayoritas di negeri ini sehingga sangat signifikan dalam memberikan konstribusinya dalam menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Itulah mengapa pendidikan di Indonesia tidak mengalami kemajuan walaupun sudah merdeka enam puluh tiga tahun. Cara terbaik adalah mengurangi jumlah golongan keempat dan jangan memberikan beasiswa pada golongan ini karena akan sia-sia.
DR.H. Moch. Agus Krisno Budiyanto, M.Kes.
NIP-UMM: 104.8909.0118